Senin, Maret 30, 2009

Rusipal: Jangan Mempolitisi Anggaran Pendidikan 20%

Sangat disayangkan bahwa ada sebuah partai politik besar yang terlalu mempolitisasi anggaran pendidikan 20% untuk mendapat memenangkan pemilu 2009. Padahal anggaran Pendidikan sebesar 20% merupakan amanat UUD 1945 hasil amandemen yang dituangkan dalam UU No 20 tahun 2003. Jadi, harusnya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dilaksanakan 2-3 tahun sesudah disahkannya UU tersebut. Atau seharusnya pada tahun 2006 atau 2007, pemerintah harus melaksanakan amanah tersebut 2 atau 3 tahun silam dengan berbagai persiapan program yang terpadu dan pengawasan yang ketat. Jadi, jika memasuki tahun ke-6 baru merealisasikan anggaran 20%, itu berarti selama 2-3 tahun silam, pemerintah melanggar konstitusi UUD 1945 alias bukanlah keberhasilan yang pantas dibanggakan.

Saya heran, di zaman ini, hal-hal yang bukan prestasi yang sesungguhnya kok dijadikan materi kampanye. Ini ibarat pengiringan opini publik untuk menganggap kesalahan atau kegagalan tempo dulu sebagai prestasi yang sangat membanggakan. Disisi lain, jika persatuan guru-guru tidak melakukan gugatan ke MK atas keengganan pemerintah menganggarkan 20% pendidikan, maka jangan harap anggaran dapat 20%. Karena anggaran 20% dilaksanakan karena gugatan para guru, maka disinyalir bahwa pemerintah tidak menyiapkan program yang jelas dan terpadu dalam mengelola angggaran yang super besar yakni 224 triliun rupiah untuk 2009.

Namun, saya memiliki hipotessa bahwa anggaran yang besar tersebut tidak dapat dimanfaatkan atau dikelola secara efisien oleh pemerintah. Bukan itu saja, besarnya anggaran tersebut akan menjadi ladang korupsi dan kolusi terselubung. Disamping itu, selama ini departemen pendidikan juga merupakan salah satu lembaga yang tidak efisien bahkan banyak program yang tidak menunjang mutu pendidikan nasional. Bayangkan saja, pada tahun 2007, hasil audit BPK menunjukan Departemen Pendidikan Nasional masih menyelewengkan penggunaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menunjang mutu pendidikan. Disamping itu, masih banyak sisa pos anggaran yang belum dilaporkan. (Laporan audit setebal 319 halaman).

Karena tebalnya hasil audit BPK, maka saya hanya mengambil sampel data penyalahan penggunaan anggaran pendidikan yang terdeteksi oleh BPK pada tahun 2007. (catatan: harusnya depdiknas tidak mengeluarkan dana tersebut, mengingat tujuan utama acara/program tersebut bukan untuk peningkatan mutu pendidikan bangsa)

1. Biaya Kegiatan Rakernas untuk PP Muhamaddiyah (Organisasinya Mendiknas) : Rp 100.000.000
2. Bantuan Baksos untuk DPP Pemuda Abdi Bangsa : Rp 10.000.000
3. Bantuan biaya kegiatan untuk Ikatan Cendikianwan Musliam se-Indonesia : Rp 100.000.000
4. Seminar dan Workshop untuk Universitas Muhammadiyah Jakarta : Rp 10.000.000
5. Seminar dan Workshop untuk Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia : Rp 50.000.000
6. Bantuan pelantikan pengurus untuk Pimpinan Pemuda Muhammadiyah DKI Jakarta : Rp 25.000.000
7. dan masih banyak lagi (lihat sendiri di Audit BPK - Depdiknas 2007)

Data Audit BPK menunjukkan bahwa sistem penggunaan anggaran APBN tidak diawasi secara benar dan tepat oleh pemerintah maupun DPR. Tampak sekali bahwa banyaknya anggaran negara dikeluarkan hanyalah demi kepentingan politik atau hubungan emosional karena menterinya dari partai atau simpatisan sebuah organisasi, sehingga proposal dana dapat disetujui dengan mudah oleh sang menterinya. Praktik-praktik korupsi seperti ini masih subur dalam pemerintah SBY-JK yang diklaim bersih. Apanya yang bersih?? Yah..mungkin para politisi Demokrat benar bahwa dalam pemerintah/kabinet SBY bersih…bersih dari penyelidikan hukum atas penyalahan penggunaan anggaran yang membebani rakyat. Anggaran yang diperoleh dari surat utang negara dan utang luar negeri Indonesia.

Dan akhirnya, kasus memalukanpun dalam dunia pendidikan terkuak. Kasus penyitaan kursi dan meja di sekolah-sekolah di Malang-Jawa Timur karena pemda tidak membayar dana proyek pengadaan peralatan sekolah tersebut.
Berikut ulasannya dalam editorial Media Indonesia edisi 25 Maret 2009.

Ironi Membengkaknya Anggaran Pendidikan
Siswa Duduk diatas Tikar (Malang)

Siswa Duduk diatas Tikar (Malang)

Dunia pendidikan lagi-lagi mendapat tamparan keras. Akibat proses pembayaran proyek pengadaan meja dan kursi di sejumlah sekolah dasar negeri di Malang tidak kunjung beres, pihak kontraktor pun menarik kembali perangkat sekolah tersebut.

Proses belajar-mengajar di sekolah itu mau tidak mau terganggu. Di beberapa lokasi, penyitaan meja kursi dilakukan saat para siswa sedang belajar.Proses penyitaan itu bahkan diwarnai tarik-menarik dan tangis siswa sehingga menjadi pemandangan yang sungguh-sungguh memilukan sekaligus memalukan.Kasus itu muncul sebagai buntut dari kontroversi proyek pengadaan mebel yang masuk Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kabupaten Malang 2006 sebesar Rp2,9 miliar.

Proyek pengadaan mebel berupa meja dan kursi itulah yang dibagikan kepada sejumlah sekolah dasar negeri di sejumlah kecamatan di Kabupaten Malang. Pemerintah Kabupaten Malang ketika itu menggandeng sekitar 33 rekanan. Selanjutnya, para rekanan itu mengikutsertakan sejumlah perajin. Dari 33 rekanan itu, hanya lima kontraktor yang memenuhi spesifikasi dan dibayar pemerintah daerah. Yang mengherankan, proses pembayaran itu hingga tiga tahun tidak kunjung beres. Akibatnya sang pengusaha terpaksa harus menyita meja dan kursi dari sekolah.

Kasus penyitaan perangkat mebel di Malang itu jelas mencoreng dunia pendidikan. Kasus yang tidak masuk akal sampai terjadi sebab anggaran sektor pendidikan terus meningkat bahkan membengkak hingga Rp224 triliun karena sudah dipatok 20% dari APBN 2009. Karena itu, kasus penyitaan mebel di Malang itu semestinya tidak boleh terjadi. Pemerintah kini punya dana banyak untuk membangun infrastruktur sekolah, penyediaan buku dan perlengkapan sekolah, serta kesejahteraan guru.

Kasus di Malang itu lagi-lagi mencerminkan bahwa penggelontoran dana yang sangat besar belum diimbangi dengan penyiapan program yang jelas dan terarah, terlebih pengawasannya. Fakta juga membuktikan banyak departemen dan pemerintah daerah yang tidak mampu menyerap anggaran yang dialokasikan. Tidak sedikit departemen maupun pemerintah daerah yang membuat program seadanya, bahkan mengada-ada.

Itu sebabnya, banyak pemda yang kerap menempatkan dana di Sertifikat Bank Indonesia. Tanpa berpikir dan bekerja keras, mereka bisa menangguk bunga SBI. Di lain pihak, Departemen Pendidikan Nasional juga tergolong badan pemerintah yang buruk dalam mengelola keuangan negara. (lihat audit BPK di situs www.bpk.go.id)

Tak mengherankan bila Badan Pemeriksa Keuangan kerap memberikan cap disclaimer kepada departemen itu. Karena itu, terkatung-katungnya proses pembayaran proyek mebel di Malang hingga tiga tahun memperlihatkan ada sesuatu yang tidak beres, bahkan patut diduga keras ada sesuatu yang busuk. Sebagian LSM setempat bahkan menuding ada korupsi dalam kasus itu.

Anggaran pendidikan yang besar ternyata tidak otomatis membuat segala persoalan lancar. Keteledoran dan ketidakbecusan pejabat pemerintah di Malang itu pun harus dibayar mahal. Para siswa yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional terpaksa belajar beralaskan tikar. Sungguh ironis.

Kesimpulan

Jika kita mengikuti sistem pendidikan nasional sesuia dengan UU 20 tahun 2003, maka kita akan mengerti bahwa anggaran APBN 20% untuk pendidikan merupakan kewajiban negara sejak UU tersebut diberlakukan yang mewajantahkan amanat UUD 1945 amandemen. Sehingga, jangan gunakan “pendidikan” untuk mempolitisasi. Pihak-pihak yang mempolitisasi prestasi anggaran 20% di tahun 2009 tampaknya merupakan pihak-pihak yang haus kekuasaan, karena mereka melupakan esensi konstitusi UUD 1945. Begitu juga untuk kasus Malang, sebaiknya kita tidak juga mempolitisasi.

Untuk menyikapi anggaran pendidikan sebesar 20% APBN, saya berharap pemerintah harus terbuka dalam mengelola anggaran yang “maha besar” tersebut. Bayangkan, jika saja dalam setiap eksekusi program-programnya terjadi penyalahan anggaran sebesar 0.5 s/d 2%, maka kerugian negara mencapai 1 sampai 4 triliun. Dan juga, pemerintah harus jujur, apakah telah siap secara prosedur maupun sistematis dalam melaksanakan anggaran pendidikan 20% secara tepat, efisien dan benar? Jika tidak, bicaralah dengan jujur kepada masyarakat dan para pakar. Saya yakin para pakar pendidikan siap membantu kelemahan institusi pendidikan kita yang korup dan tidak efisien ini.

Nusantaranews - 26 Maret 2009

Sumber :
Opini - Editorial Media Indonesia 25 Maret 2009
Audit BPK - Depdiknas 2007

Copyright From http://nusantaranews.wordpress.com/2009/03/26/jangan-mempolitisasi-anggaran-pendidikan-20/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar