Senin, Maret 30, 2009

Rusipal: Jangan Mempolitisi Anggaran Pendidikan 20%

Sangat disayangkan bahwa ada sebuah partai politik besar yang terlalu mempolitisasi anggaran pendidikan 20% untuk mendapat memenangkan pemilu 2009. Padahal anggaran Pendidikan sebesar 20% merupakan amanat UUD 1945 hasil amandemen yang dituangkan dalam UU No 20 tahun 2003. Jadi, harusnya anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dilaksanakan 2-3 tahun sesudah disahkannya UU tersebut. Atau seharusnya pada tahun 2006 atau 2007, pemerintah harus melaksanakan amanah tersebut 2 atau 3 tahun silam dengan berbagai persiapan program yang terpadu dan pengawasan yang ketat. Jadi, jika memasuki tahun ke-6 baru merealisasikan anggaran 20%, itu berarti selama 2-3 tahun silam, pemerintah melanggar konstitusi UUD 1945 alias bukanlah keberhasilan yang pantas dibanggakan.

Saya heran, di zaman ini, hal-hal yang bukan prestasi yang sesungguhnya kok dijadikan materi kampanye. Ini ibarat pengiringan opini publik untuk menganggap kesalahan atau kegagalan tempo dulu sebagai prestasi yang sangat membanggakan. Disisi lain, jika persatuan guru-guru tidak melakukan gugatan ke MK atas keengganan pemerintah menganggarkan 20% pendidikan, maka jangan harap anggaran dapat 20%. Karena anggaran 20% dilaksanakan karena gugatan para guru, maka disinyalir bahwa pemerintah tidak menyiapkan program yang jelas dan terpadu dalam mengelola angggaran yang super besar yakni 224 triliun rupiah untuk 2009.

Namun, saya memiliki hipotessa bahwa anggaran yang besar tersebut tidak dapat dimanfaatkan atau dikelola secara efisien oleh pemerintah. Bukan itu saja, besarnya anggaran tersebut akan menjadi ladang korupsi dan kolusi terselubung. Disamping itu, selama ini departemen pendidikan juga merupakan salah satu lembaga yang tidak efisien bahkan banyak program yang tidak menunjang mutu pendidikan nasional. Bayangkan saja, pada tahun 2007, hasil audit BPK menunjukan Departemen Pendidikan Nasional masih menyelewengkan penggunaan anggaran untuk kegiatan-kegiatan yang tidak menunjang mutu pendidikan. Disamping itu, masih banyak sisa pos anggaran yang belum dilaporkan. (Laporan audit setebal 319 halaman).

Karena tebalnya hasil audit BPK, maka saya hanya mengambil sampel data penyalahan penggunaan anggaran pendidikan yang terdeteksi oleh BPK pada tahun 2007. (catatan: harusnya depdiknas tidak mengeluarkan dana tersebut, mengingat tujuan utama acara/program tersebut bukan untuk peningkatan mutu pendidikan bangsa)

1. Biaya Kegiatan Rakernas untuk PP Muhamaddiyah (Organisasinya Mendiknas) : Rp 100.000.000
2. Bantuan Baksos untuk DPP Pemuda Abdi Bangsa : Rp 10.000.000
3. Bantuan biaya kegiatan untuk Ikatan Cendikianwan Musliam se-Indonesia : Rp 100.000.000
4. Seminar dan Workshop untuk Universitas Muhammadiyah Jakarta : Rp 10.000.000
5. Seminar dan Workshop untuk Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia : Rp 50.000.000
6. Bantuan pelantikan pengurus untuk Pimpinan Pemuda Muhammadiyah DKI Jakarta : Rp 25.000.000
7. dan masih banyak lagi (lihat sendiri di Audit BPK - Depdiknas 2007)

Data Audit BPK menunjukkan bahwa sistem penggunaan anggaran APBN tidak diawasi secara benar dan tepat oleh pemerintah maupun DPR. Tampak sekali bahwa banyaknya anggaran negara dikeluarkan hanyalah demi kepentingan politik atau hubungan emosional karena menterinya dari partai atau simpatisan sebuah organisasi, sehingga proposal dana dapat disetujui dengan mudah oleh sang menterinya. Praktik-praktik korupsi seperti ini masih subur dalam pemerintah SBY-JK yang diklaim bersih. Apanya yang bersih?? Yah..mungkin para politisi Demokrat benar bahwa dalam pemerintah/kabinet SBY bersih…bersih dari penyelidikan hukum atas penyalahan penggunaan anggaran yang membebani rakyat. Anggaran yang diperoleh dari surat utang negara dan utang luar negeri Indonesia.

Dan akhirnya, kasus memalukanpun dalam dunia pendidikan terkuak. Kasus penyitaan kursi dan meja di sekolah-sekolah di Malang-Jawa Timur karena pemda tidak membayar dana proyek pengadaan peralatan sekolah tersebut.
Berikut ulasannya dalam editorial Media Indonesia edisi 25 Maret 2009.

Ironi Membengkaknya Anggaran Pendidikan
Siswa Duduk diatas Tikar (Malang)

Siswa Duduk diatas Tikar (Malang)

Dunia pendidikan lagi-lagi mendapat tamparan keras. Akibat proses pembayaran proyek pengadaan meja dan kursi di sejumlah sekolah dasar negeri di Malang tidak kunjung beres, pihak kontraktor pun menarik kembali perangkat sekolah tersebut.

Proses belajar-mengajar di sekolah itu mau tidak mau terganggu. Di beberapa lokasi, penyitaan meja kursi dilakukan saat para siswa sedang belajar.Proses penyitaan itu bahkan diwarnai tarik-menarik dan tangis siswa sehingga menjadi pemandangan yang sungguh-sungguh memilukan sekaligus memalukan.Kasus itu muncul sebagai buntut dari kontroversi proyek pengadaan mebel yang masuk Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kabupaten Malang 2006 sebesar Rp2,9 miliar.

Proyek pengadaan mebel berupa meja dan kursi itulah yang dibagikan kepada sejumlah sekolah dasar negeri di sejumlah kecamatan di Kabupaten Malang. Pemerintah Kabupaten Malang ketika itu menggandeng sekitar 33 rekanan. Selanjutnya, para rekanan itu mengikutsertakan sejumlah perajin. Dari 33 rekanan itu, hanya lima kontraktor yang memenuhi spesifikasi dan dibayar pemerintah daerah. Yang mengherankan, proses pembayaran itu hingga tiga tahun tidak kunjung beres. Akibatnya sang pengusaha terpaksa harus menyita meja dan kursi dari sekolah.

Kasus penyitaan perangkat mebel di Malang itu jelas mencoreng dunia pendidikan. Kasus yang tidak masuk akal sampai terjadi sebab anggaran sektor pendidikan terus meningkat bahkan membengkak hingga Rp224 triliun karena sudah dipatok 20% dari APBN 2009. Karena itu, kasus penyitaan mebel di Malang itu semestinya tidak boleh terjadi. Pemerintah kini punya dana banyak untuk membangun infrastruktur sekolah, penyediaan buku dan perlengkapan sekolah, serta kesejahteraan guru.

Kasus di Malang itu lagi-lagi mencerminkan bahwa penggelontoran dana yang sangat besar belum diimbangi dengan penyiapan program yang jelas dan terarah, terlebih pengawasannya. Fakta juga membuktikan banyak departemen dan pemerintah daerah yang tidak mampu menyerap anggaran yang dialokasikan. Tidak sedikit departemen maupun pemerintah daerah yang membuat program seadanya, bahkan mengada-ada.

Itu sebabnya, banyak pemda yang kerap menempatkan dana di Sertifikat Bank Indonesia. Tanpa berpikir dan bekerja keras, mereka bisa menangguk bunga SBI. Di lain pihak, Departemen Pendidikan Nasional juga tergolong badan pemerintah yang buruk dalam mengelola keuangan negara. (lihat audit BPK di situs www.bpk.go.id)

Tak mengherankan bila Badan Pemeriksa Keuangan kerap memberikan cap disclaimer kepada departemen itu. Karena itu, terkatung-katungnya proses pembayaran proyek mebel di Malang hingga tiga tahun memperlihatkan ada sesuatu yang tidak beres, bahkan patut diduga keras ada sesuatu yang busuk. Sebagian LSM setempat bahkan menuding ada korupsi dalam kasus itu.

Anggaran pendidikan yang besar ternyata tidak otomatis membuat segala persoalan lancar. Keteledoran dan ketidakbecusan pejabat pemerintah di Malang itu pun harus dibayar mahal. Para siswa yang sebentar lagi menghadapi ujian nasional terpaksa belajar beralaskan tikar. Sungguh ironis.

Kesimpulan

Jika kita mengikuti sistem pendidikan nasional sesuia dengan UU 20 tahun 2003, maka kita akan mengerti bahwa anggaran APBN 20% untuk pendidikan merupakan kewajiban negara sejak UU tersebut diberlakukan yang mewajantahkan amanat UUD 1945 amandemen. Sehingga, jangan gunakan “pendidikan” untuk mempolitisasi. Pihak-pihak yang mempolitisasi prestasi anggaran 20% di tahun 2009 tampaknya merupakan pihak-pihak yang haus kekuasaan, karena mereka melupakan esensi konstitusi UUD 1945. Begitu juga untuk kasus Malang, sebaiknya kita tidak juga mempolitisasi.

Untuk menyikapi anggaran pendidikan sebesar 20% APBN, saya berharap pemerintah harus terbuka dalam mengelola anggaran yang “maha besar” tersebut. Bayangkan, jika saja dalam setiap eksekusi program-programnya terjadi penyalahan anggaran sebesar 0.5 s/d 2%, maka kerugian negara mencapai 1 sampai 4 triliun. Dan juga, pemerintah harus jujur, apakah telah siap secara prosedur maupun sistematis dalam melaksanakan anggaran pendidikan 20% secara tepat, efisien dan benar? Jika tidak, bicaralah dengan jujur kepada masyarakat dan para pakar. Saya yakin para pakar pendidikan siap membantu kelemahan institusi pendidikan kita yang korup dan tidak efisien ini.

Nusantaranews - 26 Maret 2009

Sumber :
Opini - Editorial Media Indonesia 25 Maret 2009
Audit BPK - Depdiknas 2007

Copyright From http://nusantaranews.wordpress.com/2009/03/26/jangan-mempolitisasi-anggaran-pendidikan-20/

Rusipal: Model Penyelenggaraan Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional (SKM/SSN)

A. PENDAHULUAN

1. Landasan Pedagogis

Pendidikan memegang peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Rousseau (Emile, 1762), tujuan utama pendidikan adalah memberi kemampuan pada manusia untuk hidup di masyarakat. Kemampuan ini berupa pengetahuan dan/atau keterampilan, serta prilaku yang diterima masyarakat. Kemampuaan seseorang akan dapat berkembang secara optimal apabila memperoleh pengalaman belajar yang tepat. Untuk itu lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah harus memberi pengalaman belajar yang sesuai dengan potensi dan minat peserta didik.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan berfungsi sebagai lembaga sosial atau dapat dipandang sebagai lembaga ekonomi non profit. Sebagai lembaga sosial, sekolah memberikan pelayanan kebutuhan pendidikan dan pengajaran bagi masyarakat, sedangkan sebagai lembaga ekonomi, sekolah menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi ekonomi untuk hidup dan berkembang di tengah masyarakat. Hal ini dilihat dari hasil pendidikan yang memiliki dampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat. Dampak ekonomi dapat dilihat dari peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dampak sosial dapat dilihat pada kehidupan bermasyarakat yang tenteram, aman, dan sentosa. Etika moral dan akhlak mulia masyarakat dapat dibangun melalui pendidikan, untuk memberi ketenteraman kepada masyarakat. Kesejahteraan masyarakat tidak hanya bersifat material tetapi juga sosial. Oleh karena itu semua negara berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Menurut Quisumbing (2003), kualitas pendidikan bersifat dinamis,saat ini berkualitas namun saat mendatang mungkin sudah ketinggalan. Oleh karena itu peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.

Faktor yang menentukan kualitas pendidikan antara lain kualitas pembelajaran dan karakter peserta didik yang meliputi bakat, minat, dan kemampuan. Kualitas pembelajaran dilihat pada interaksi peserta didik dengan sumber belajar, termasuk pendidik. Interaksi yang berkualitas adalah yang menyenangkan dan menantang. Menyenangkan berarti peserta didik belajar dengan rasa senang, sedangkan menantang berarti ada pengetahuan atau keterampilan yang harus dikuasai untuk mencapai kompetensi.

Pencapaian kompetensi peserta didik yang menjadi tujuan pembelajaran ditentukan oleh karakter peserta didik yang berbeda satu dengan lainnya, dan memiliki keunikan. Karakter ini merupakan fungsi dari keturunan, pengalaman, perspektif, latar belakang, bakat, minat, kapasitas, kebutuhan dan faktor lain dari kehidupan (Stott, Fink & Earl, 2003).

Tugas sekolah adalah mengembangkan potensi peserta didik secara optimal menjadi kemampuan yang berguna bagi dirinya untuk hidup di masyarakat. Holland (1973) mengajukan 6 skala inventori preferensi yang meliputi dimensi intelektual, realistik, artistik, sosial, pengusaha, dan konvensional. Konfigurasi yang diajukan Holland berkaitan dengan potensi peserta didik. Apabila diketahui profil potensi peserta didik, maka perlakuan yang dirancang akan bisa lebih tepat, sehingga potensinya dapat dikembangkan secara optimal.

Peserta didik yang berada pada dimensi intelektual akan cocok belajar di program studi matematika, dan ilmu-ilmu alam, sedang yang berada pada dimensi realistik cocok belajar di program studi teknik mesin, teknik sipil, pertanian, dan konstruksi. Mereka yang berada pada dimensi konvensional akan sukses belajar pada program studi yang berhubungan dengan pemrosesan data, manajeman bisnis, akuntansi, sedang yang berada pada dimensi pengusaha cenderung sukses bila belajar pada program studi yang berkaitan dengan pemasaran dan hubungan publik.

Selanjutnya mereka yang berada pada dimensi artistik akan cocok bila belajar pada program studi yang berkaitan dengan teologi, psikologi klinis, seni, dan musik, sedang yang berada pada dimensi sosial akan cenderung sukses bila belajar pada program studi yang berkaitan dengan sejarah,budaya,paedagogi, bimbingan dan konseling, serta bahasa.

Gardner (Stott, Fink & Earl, 2003) mengidentifikasi ada inteligensi peserta didik, yaitu, lingusitik, logika matematik, musik, kinestetik, spasial, naturalist interpersonal, dan intrapersonal. Hal ini berarti tiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda pada delapan inteligensi seperti yang dikemukan Gardner. Seorang peserta didik mungkin saja sangat menonjol dalam mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan logika seperti matematika dan fisika namun kurang bagus dalam mata pelajaran yang memerlukan kemampuan keruangan (spatial). Implikasinya adalah peserta didik diberi peluang untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan inteligensinya. Peserta didik diyakini dapat belajar secara optimal bila memiliki kebebasan memilih mata pelajaran yang akan diikuti sesuai dengan potensi dan minatnya. Pemberian perlakuan kepada peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya merupakan tugas sekolah.

Peserta didik diyakini memiliki kecepatan, motivasi, dan minat belajar yang berbeda satu sama lain. Marsh (1996) menyatakan “Children can develop at very different paces and levels”. Penerapan konsep tersebut adalah jumlah mata pelajaran yang diikuti setiap semester tidak sama, tetapi ditentukan berdasarkan prestasi belajar peserta didik pada semester sebelumnya. Perbedaan beban belajar tersebut bertujuan memberi peluang peserta didik mencapai ketuntasan minimal pada semua mata pelajaran sehingga dapat menyelesaikan program pembelajaran dengan baik dalam rentang waktu yang berbeda. Penerapan konsep tersebut diharapkan dapat memotivasi peserta didik dengan berbagai tingkat kepandaian untuk belajar dan berusaha mencapai prestasi optimal.

Di samping itu, peserta didik adalah individu yang memiliki kebutuhan berbeda satu sama lain. Maslow (Marsh, 1996) menyatakan bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah “being recognised as unique”. Oleh karena itu, kurikulum pada sekolah mandiri yang menggunakan sistem kredit akan memberi peluang peserta didik untuk memilih pelajaran yang sesuai dengan potensi dan minatnya.

Penerapan sistem kredit semester (SKS) pada Sekolah Kategori Mandiri/ Sekolah Standar Nasional merupakan realisasi konsep manajemen sekolah dan fungsi guru sebagai fasilitator yang membantu peserta didik untuk mengembangkan potensinya. Penerapan sistem kredit semester merupakan salah satu upaya peningkatan mutu layanan pembelajaran yang diharapkan dapat memotivasi peserta didik mengembangkan potensinya dan diharapkan dapat meningkatkan mutu lulusan.

2. Landasan Yuridis

Pada penjelasan pasal 11 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (PP 19 Tahun 2005) tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa sekolah/madrasah berkategori mandiri (SKM), yaitu sekolah/madrasah yang telah memenuhi atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan, harus menerapkan SKS, sedangkan sekolah kategori standar dapat menggunakan kurikulum sistem paket atau SKS. Disebutkan pula bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memfasilitasi satuan pendidikan yang berupaya menerapkan sistem kredit semester, karena sistem ini lebih mengakomodasi bakat, minat, dan kemampuan peserta didik.

PP 19 Tahun 2005 pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas lima kelompok mata pelajaran, yaitu agama dan akhlak mulia, kewarganegaraan dan kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, dan pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa beban belajar untuk SMA/MA/SMLB, SMK/ MAK atau bentuk lain yang sederajat menggunakan jam pembelajaran setiap minggu setiap semester dengan sistem tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur, sesuai kebutuhan dan ciri khas masing-masing.

Mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dan Permendiknas nomor 24 Tahun 2006 yang disempurnakan menjadi Permendiknas nomor 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan Nomor 23 beban belajar peserta didik rata-rata tiap minggu adalah 38 sampai 39 jam pelajaran masing-masing 45 menit. Kegiatan belajar peserta didik terdiri dari kegiatan tatap muka, kegiatan terstruktur, dan kegiatan mandiri. Kegiatan terstruktur, dan kegiatan mandiri bagi peserta didik maksimum 60% dari jumlah waktu kegiatan tatap muka dari setiap mata pelajaran. Ketentuan dimaksud selanjutnya diperjelas dalam Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), bahwa satu sks pada SMA/MA/SMK/MAK terdiri atas 45 menit tatap muka, 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan mandiri tidak terstruktur.

B. KONSEP DASAR SKM/SSN

1. Pengertian

Penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 pasal 11 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah mengkategorikan sekolah/madrasah yang telah atau hampir memenuhi standar nasional ke dalam kategori mandiri. Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa sekolah kategori mandiri (SKM) harus menerapkan sistem kredit semester (SKS). SKS adalah salah satu sistem penerapan program pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subyek. Pembelajaran berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar. Peserta didik diberi kebebasan untuk merencanakan kegiatan belajarnya sesuai dengan minat, kemampuan, dan harapan masing-masing (Chandramohan, 2006).

Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi menyatakan bahwa sistem kredit semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Mengacu pada konsep tersebut, SKS dapat diterapkan untuk menunjang realisasi konsep belajar tuntas yang digunakan dalam menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Pada Sistem Kredit Semester, setiap satu satuan kredit semester (1 SKS) berbobot dua jam kegiatan pembelajaran per minggu selama 16 minggu per semester. Pada SMA/MA/SMLB, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, satu jam kegiatan tatap muka berlangsung selama 45 menit, sedangkan 25 menit kegiatan terstruktur dan 25 menit kegiatan mandiri.

Dengan demikian, penerapan SKS pada KTSP perlu dilakukan penyesuaian dengan menggunakan pendekatan pembelajaran tuntas di mana satuan kegiatan belajar peserta didik tidak diukur berdasarkan lama waktu kegiatan per minggu-semester tetapi pada satuan (unit) kompetensi yang dicapai.

2. Karakteristik

Berdasarkan penjelasan PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 11 ayat (2) bahwa ciri Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional adalah terpenuhinya standar nasional pendidikan dan mampu menjalankan sistem kredit semester.

Dari ciri tersebut Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional memiliki profil sebagai persyaratan minimal yang meliputi :

a. Dukungan Internal, yang meliputi : 1) Kinerja Sekolah indikator terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir minimum 7,00, persentase kelulusan UN ≥ 90 % untuk tiga tahun terakhir, animo tiga tahun terakhir > daya tampung, prestasi akademik dan non akademik yang diraih, melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah siswa per kelas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua. 2) Kurikulum, dengan indikator memiliki kurikulum Sekolah Kategori Mandiri, beban studi dinyatakan dengan satuan kredit semester, mata pelajaran yang ditawarkan ada yang wajib dan pilihan, panduan/dokumen penyelenggaraan, memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik dan memiliki pedoman penilaian. 3) Kesiapan sekolah, dengan indikator Sekolah menyatakan bersedia melaksanakan Sistem Kredit Semester, Persentase guru yang menyatakan ingin melaksanakan SKS ≥ 90%, Pernyataan staf administrasi akademik bersedia melaksanakan SKS, Kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer. 4) Sumber Daya Manusia, dengan indikator persentase guru memenuhi kualifikasi akademik ≥ 75%, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %), rasio guru dan siswa, jumlah tenaga administrasi akademik memadai, tersedia guru bimbingan konseling/ karir. 5) Fasilitas di sekolah, dengan indiktor memiliki ruang kepala Sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang bimbingan, ruang Unit Kesehatan, tempat Olah Raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk administrasi, memiliki laboratorium: Bahasa, Teknologi informasi/komputer, Fisika, Kimia, Biologi, Multimedia, IPS, Perpustakaan yang memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran, memberikan Layananan bimbingan karir

b. Dukungan Eksternal untuk menyelenggarakan SKM/SSN berasal dari dukungan komite sekolah, orang tua peserta didik, dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dukungan dari tenaga pendamping pelaksanaan SKS.

C. PENGELOLAAN KURIKULUM SKM/SSN

Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum nasional yang bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi untuk melayani kebutuhan siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa. Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum guna melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan khusus. 2) ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang berhak memperoleh pendidikan khusus.

Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI dan SKL yang berlaku secara nasional, sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan standar kompetensi sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu terlebih dulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kreteria berikut ini : (1) Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut, (3) Konsep yang berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir (Munandar, 2001).

Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri (Slameto, 1991).

Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi pelajaran yang digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang disusun satuan pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi materi umum/wajib dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan uraian di atas adalah kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit semester.

Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan dalam satuan kredit semeser (sks). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu mata pelajaran umum (MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan (MPP). MPU harus diambil oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan pribadi yang memiliki akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa sebagai warganegara yang baik. MPD harus diambil peserta didik sebagai landasan menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

MPP adalah sejumlah mata pelajaran yang disusun menjadi program bidang tertentu yang dipilih sesuai dengan minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi di perguruan tinggi. Namun, mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh peserta didik yang telah memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya.

Mengingat kemungkinan bervariasinya mata pelajaran yang dipilih peserta didik maka sekolah perlu menunjuk petugas pengelola data akademik untuk mendata kemajuan belajar setiap peserta didik dan menyimpannya dengan baik yang dapat dibuka kembali setiap diperlukan. Sekolah mengatur jadwal kegiatan pengganti bagi peserta didik yang pernah absen dan mengatur jadwal kegiatan remidial bagi peserta didik yang belum mencapai kompetensi minimal yang ditetapkan.

Sekolah menunjuk guru sebagai petugas pembimbing akademik yang membina peserta didik maksimum 16 orang setiap guru. Guru pembimbing akademik bertugas membantu peserta didik memilih mata pelajaran yang akan diambil pada suatu semester, memilih program jurusan, dan menyelesaikan persoalan akademik secara umum serta menjawab pertanyaan akademik dari orang tua peserta didik yang menjadi binaannya. Peserta didik yang pada suatu semester memiliki indeks prestasi (IP) tinggi maka pada semester berikutnya diberi kesempatan untuk mengambil beban belajar lebih banyak sehingga dapat mencapai kebulatan studi dalam rentang waktu kurang dari enam semester, dan sebaliknya.

D. MODEL PEMBELAJARAN SKM/SSN

Mutu kegiatan belajar-mengajar akan mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan SKM/SSN. Oleh karena itu, kegiatan belajar-mengajar bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa perlu dirancang dan diatur sedemikian rupa sehingga dapat dicapai hasil percepatan belajar secara optimal, dan sebaliknya. Seperti dikemukakan Caroll dan Bloom (1974 dalam Munandar, 2001) bahwa banyak peserta didik yang memiliki bakat, minat, kemampuan dan kecerdasan luar biasa, bahkan sebaliknya maka dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar dapat diterapkan pelayanan individual dan pelayanan kelompok.

Pemberian layanan secara individual membawa implikasi dalam manajemen yakni penambahan tenaga, sarana dan dana. Oleh karena itu dilakukan gabungan antara layanan individual dan kelompok, dengan pengertian bahwa pada umumnya layanan pendidikan diberikan pada kelompok peserta didik yang memiliki kemampuan dalam matapelajaran yang sama. Meskipun kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara kelompok, penilaian terhadap kemajuan hasil belajar merupakan penilaian kemampuan individu setiap peserta didik. Kecuali penilaian yang dirancang untuk mengetahui kemampuan dan kemajuan belajar/ hasil kerja kelompok.

Model pembelajaran yang dilaksanakan saat ini mengacu pada prinsip-prinsip yang dikemukakan Bruner (Munandar, 2001) yaitu memberikan pengalaman khusus yang dapat dipahami peserta didik; pengajaran diberikan sesuai dengan struktur pengetahuan/keilmuan sehingga peserta didik lebih siap menyerapnya; susunan penyajian pengajaran yang lebih efektif dan dipertimbangkan ganjaran yang sesuai. Dalam pelaksanaan pembelajaran pada SKM/SSN tidak hanya ditekankan pada pencapaian aspek intelektual saja, melainkan dalam pembelajaran perlu diciptakan kegiatan dan suasana belajar yang memungkinkan berkembangnya semua dimensi dalam pendidikan, seperti: watak, kepribadian, intelektual, emosional dan sosial. Sehingga diharapkan tercapai kemajuan dan perkembangan yang seimbang antara semua dimensi tersebut.

Strategi pembelajaran yang sesuai untuk mencapai dimensi di atas, adalah strategi pembelajaran yang terfokus pada belajar bagaimana seharusnya belajar (Zamroni, 2000). Strategi ini harus menekankan pada perkembangan kemampuan intelektual tinggi, memiliki kepekaan (sensitif) terhadap kemajuan belajar dari tingkat konseptual rendah ke tingkat intelektual tinggi. Untuk itu metode pembelajaran yang paling sesuai antara lain metode pembelajaran induktif, divergen dan berpikir evaluatif. Pembelajaran model hafalan pada pembelajaran program siswa yang memiliki kemampuan lebih sejauh mungkin dicegah dengan memberikan tekanan pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.

Dari pemaparan di atas sesungguhnya pembelajaran yang terjadi merupakan impelemntasi dari model Dick dan Carey dimana peran guru atau tugas utama guru adalah sebagai perancang pembelajaran, dengan peranan tambahan sebagai pelaksana dan penilai kegiatan belajar mengajar (Riyanto, 2001). Dengan kata lain strategi belajar mengajar yang terapkan dalam mengajar pada SKM/SSN bukan hanya menekankan pada aspek intelektual saja melainkan pada juga pada proses kreatif dan berfikir tinggi dalam bentuk strategi belajar yang bervariasi yang harus diciptakan oleh guru secara kreatif.

Menurut Arends (2001) seorang guru dalam melaksanakan pembelajaran harus menampilkan tiga aspek penting. Ketiga aspek ini adalah: (1) kepemimpinan, (2) pemberian instruksi melalui tatap muka dengan peserta didik, (3) bekerja dengan peserta didik, kolega, dan orang tua. Untuk membangun kelas dan sekolah sebagai organisasi belajar, ketiga aspek tersebut harus terpadu.

Pada aspek kepemimpinan, banyak peran guru sama dengan peran pemimpin yang bekerja pada tipe organisasi lain. Pemimpin diharapkan mampu merencanakan, memotivasi, dan mengkoordinasi pekerjaan sehingga tiap individu dapat bekerja secara independen, dan membantu memformulasi serta menilai pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam melaksanakan pembelajaran guru harus merancang dan melakukan pekerjaan secara efisien, kreatif, tampil menarik dan berwibawa sebagai seorang aktor di depan kelas, serta hasilnya harus memenuhi standar kualitas.

Pada aspek pemberian instruksi, guru dalam melaksanakan pembelajaran di kelas melalui tatap muka menyampaikan informasi dan mengarahkan apa yang harus dilakukan peserta didik. Pada apsek ini hal yang perlu diperhatikan adalah unsur konsentrasi atau perhatian peserta didik terhadap uraian materi yang disampaikan guru. Pada umumnya perhatian penuh peserta didik berlangsung pada 5 sampai 10 menit pertama, setelah itu perhatiannya akan turun. Untuk itu guru harus berusaha menjaga perhatian peserta didik, misalnya dengan memberi contoh penggunaan materi atau konsep yang diajarkan di lapangan.

Pada aspek kerja sama, untuk mencapai hasil pembelajaran yang optimal guru harus melakukan kerjasama dengan peserta didik, kolega guru, dan orang tua. Masalah yang dihadapi guru dapat berupa masalah di kelas, atau masalah individu peserta didik. Masalah di kelas dapat didiskusikan dengan guru lain yang mengajar di kelas yang sama atau yang mengajar mata pelajaran sama di kelas lain. Masalah individu peserta didik dibicarakan dengan orang tua peserta didik. Dengan demikian semua masalah yang terjadi di kelas dapat diselesaikan.

Pembelajaran pada dasarnya merupakan interaksi antara peserta didik dan sumber belajar. Pembelajaran di kelas terjadi karena ada interaksi antara peserta didik dengan guru. Guru tidak saja memberi instruksi, tetapi juga bertindak sebagai anggota organisasi belajar dan sebagai pemimpin pada lingkungan kerja yang komplek. Semua perilaku guru di dalam dan di luar kelas akan mempengaruhi keberhasilan kegiatan pembelajaran.

Model pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu model tradisional yang berpusat pada guru dan model konstruktivis yang berpusat pada peserta didik (Arends, 2001). Model pembelajaran tradisonal terdiri atas ceramah atau presentasi, instruksi langsung, dan pengajaran konsep. Model pembelajaran yang berpusat pada peserta didik atau konstruktivis terdiri atas belajar kooperatif, instruksi berbasis masalah, dan diskusi kelas.

Ada dua hal utama yang perlu diperhatikan pada model pembelajaran sekolah mandiri, yaitu : 1) pembelajaran, dan 2) evaluasi. Peran utama guru di sekolah adalah melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran merupakan kegiatan yang menggunakan teknik, metode, dan strategi yang sistematik untuk mengkreasi perpaduan yang ideal antara kurikulum dan peserta didik secara sistematik.

Teknik pembelajaran adalah bagian dari setiap metode, dan beberapa metode digabung menjadi strategi, yang merupakan kombinasi kemampuan dan keterampilan guru untuk menerapkan metode dan strategi pembelajaran. Teknik yang banyak digunakan antara lain : 1) menyampaikan informasi, 2) memotivasi, 3) memberi penguatan, 4) mendengarkan, 5) memberi dan menjawab pertanyaan, dan 6) pengelolaan.

Strategi pembelajaran adalah kombinasi metode yang berurutan dan dirancang agar peserta didik mencapai standar kompetensi. Menururt Kindsvatter, Wilen, & Ishler (1996:169) strategi formal yang dikembangkan berdasarkan penelitian pembelajaran yang efektif dan menekankan pada hasil belajar yang lebih tinggi adalah:

1. Pengajaran aktif : fokus akademik, pembelajaran diarahkan oleh guru dengan menggunakan bahan yang terstruktur dan berurutan.

2. Pembelajaran masteri : suatu pendekatan diagnostik individu pada pembelajaran di mana peserta didik melakukan pembelajaran dan diuji sesuai dengan kecepatannya untuk mencapai kompetensi.

3. Pembelajaran kooperatif : penggunaan tutor sebaya, pembelajaran grup, dan kerjasama untuk mendorong peserta didik belajar.

Model pembelajaran pada SKM/SSN menekankan pada potensi dan kebutuhan peserta didik agar mampu belajar mandiri yang dibangun melalui komunitas belajar di kelas. Strategi untuk memotivasi peserta didik membangun komunitas belajar tersebut meliputi : 1) meyakini potensi peserta didik, 2) membangun motivasi intrinsik, 3) menggunakan perasaan positif, 4) membangun minat belajar peserta didik, 5) membangun belajar yang menyenangkan, 6) memenuhi kebutuhan peserta didik, 7) mencapai tujuan pembelajaran, dan 8) memfasilitasi pengembangan kelompok.

Secara ringkas prinsip pembelajaran pada SKM/SSN adalah :

1. Berpusat pada peserta didik, yaitu bagaimana peserta didik belajar.

2. Menggunakan berbagai metode yang memudahkan peserta didik belajar.

3. Proses pembelajaran bersifat kontekstual.

4. Interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi, menantang dan dalam iklim yang kondusif.

5. Menekankan pada kemampuan dan kemauan bertanya dari peserta didik

6. Dilakukan melalui kelompok belajar dan tutor sebaya.

7. Mengalokasikan waktu sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik

8. Melaksanakan program remedial dan pengayaan sesuai dengan hasil evaluasi formatif.

E. SISTEM PENILAIAN PADA SKM/SSN

Dalam pelaksanaan program SKM/SSN dilakukan penilaian yang berkelanjutan untuk memperoleh informasi tentang kemajuan dan keberhasilan belajar peserta didik. Pada setiap tahap pembelajaran dilakukan penilaian. Penilaian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian dan kemajuan belajar peserta didik pada setiap tahap atau unit pembelajaran yang didasarkan pada kriteria keberhasilan tertentu (tingkat ketuntasan belajar). Hasil penilaian ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan peserta didik yang boleh melanjutkan ke materi pelajaran berikutnya dan peserta didik yang perlu mendapat layanan perbaikan/remedial (Depdiknas, 2001).

Untuk pengajaran perbaikan juga diadakan penilaian yang hasilnya digunakan untuk menentukan apakah peserta didik yang bersangkutan telah berhasil mencapai tingkat penguasaan yang dipersyaratkan untuk bisa melanjutkan pada materi selanjutnya. Jika pencapaiannya selalu tidak sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan untuk sebagian besar mata pelajaran maka perlu dipertimbangkan kemungkinan untuk kembali pada program biasa.

Penilaian juga diadakan untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana penguasan materi pelajaran yang diberikan dan keberhasilan peserta didik dalam mengikuti program belajar. Penilaian ini mencakup aspek penguasan mata pelajaran dan aspek lainnya seperti; kematangan psikologis, kegairahan dan kejenuhan, kesiapan program itu sendiri termasuk faktor masukan (input) dan proses dalam program tersebut. Hasil penilaian digunakan antara lain untuk penentuan pencapaian kompetensi, penyempurnaan program, pelayanan baik dalam kegiatan pembelajaran maupun pelayanan lainnya.

Penilaian sangat dibutuhkan untuk mengukur tingkat kemampuan dalam mengikuti pembelajaran pada SKM/SSN, perkembangan intelektual maupun emosional peserta didik seperti kematangan psikologis, kegairahan, kejenuhan dan sebagainya,dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :

1. Pencapaian kompetensi diukur melalui tes kinerja yang dilakukan secara menerus (continuous) menggunakan metode pengamatan, pemberian tugas, dan ujian tulis.

2. Prestasi belajar dinilai dengan skala skor 0 – 100 yang dinyatakan dalam kategori A; B; C; D dan E dengan konversi bobot 4; 3; 2; 1dan 0.

3. Peserta didik yang sudah memperoleh layanan khusus namun tetap belum mencapai skor (kompetensi) minimal pada mata pelajaran wajib harus mengambil ulang pada semester berikutnya, sedangkan untuk mata pelajaran pilihan boleh mengganti dengan pilihan lain pada semester berikutnya.

4. Peserta didik dinyatakan lulus SMA bila telah menyelesaikan total kredit minimal sebesar 120 SKS dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) minimal 2,00 dari IPK maksimal 4,00.

5. Peserta didik yang memiliki IPK <>

6. Sekolah melaporkan kemajuan belajar setiap peserta didik tersebut kepada orang tua peserta didik sebelum diberikan kepada peserta didik yang bersangkutan.

7. Orang tua dari peserta didik yang memiliki IP semester <>

F. KOMPETENSI GURU PADA SKM/SSN

Salah satu implikasi yang menentukan keberhasilan program SKM/SSN ialah adanya guru-guru yang memiliki karakteristik dan keterampilan untuk dapat memenuhi kebutuhan pendidikan anak.

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa guru perlu memiliki seperangkat keterampilan dan kompetensi agar dapat mengajar secara efektif, yaitu 1) Pengetahuan tentang watak dan kebutuhan siswa berbakat, 2) Keterampilan menggunakan teks dan tes, 3) Keterampilan menggunakan dinamika kelompok, 4) Keterampilan dalam bimbingan dan konseling, 5) Keterampilan dalam pengembangan pemikiran kreatif, 6) Keterampilan menggunakan strategi seperti simulasi, 7) Keterampilan memberikan kesempatan belajar pada semua tingkat kognitif (mulai tingkat rendah sampai tingkat tinggi), 8) Keterampilan dalam menghubungkan dimensi kognitif dan afektif, 9) Pengetahuan tentang perkembangan baru dari pendidikan, 10) memiliki pengetahuan tentang riset mutakhir mengenai perkembangan siswa (Munandar, 2001).

Karakteristik Guru untuk program SKM/SSN meliputi : 1) karakteristik filosofi; karakteristik filosofi menentukan pendekatan mereka terhadap siswa di kelas. Guru perlu mencerminkan sikap kooperatif dan demokratis, serta mempunyai kompetensi dan minat terhadap proses pembelajaran, 2) Karakteristik Kompetensi; kompetensi profesional meliputi strategi untuk mengoptimalkan belajar siswa, keterampilan bimbingan dan penyuluhan, dan pemahaman psikologis siswa. 3) Karakteristik Pribadi; meliputi motivasi, kepercayaan diri, rasa humor, kesabaran, minat luas dan keluwesan (Latifah, 2004).

G. PELAYANAN BIMBINGAN PADA SKM/SSN

Pelayanan bimbingan sangat diperlukan agar potensi yang dimiliki oleh peserta didik dapat dikembangkan secara optimal. Program bimbingan diarahkan untuk dapat menjaga terjadinya keseimbangan dan keserasian dalam perkembangan intelektual, emosional dan sosial.

Selain itu program bimbingan diharapkan dapat mencegah dan mengatasi potensi-potensi negatif yang dapat terjadi dalam proses pembelajaran pada SKM/SSN. Potensi negatif tersebut misalnya peserta didik akan mudah frustasi karena adanya tekanan dan tuntutan untuk berprestasi, peserta didik menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain karena sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada masanya, ataupun kegelisahan akibat harus menentukan keputusan karir lebih dini dari biasanya. (Semiawan, 1997).

Layanan bimbingan diperlukan siswa untuk memenuhi kebutuhan individual anak baik secara psikologis maupun untuk mengembangkan kecakapan sosial agar dapat berkembang optimal. Hal ini senada dengan pendapat Leta Hollingworth yang dikutip Wahab (2004) yang mengindikasikan bahwa “gifted children do have social/emotional needs meriting attention”. Ditegaskan bahwa betapa pentingnya persoalan kebutuhan sosial/emosional anak berbakat memerlukan perhatian orang dewasa di sekitarnya, karena boleh jadi kondisi demikian akan berpengaruh kepada kinerja dan aktivitas anak dalam belajarnya.

Lain dengan Pirto (1994) yang mengedepankan model bimbingan yang dipandang memiliki efektifitas tinggi untuk mengatasi masalah anak adalah multi model. Artinya tidak hanya menggunakan satu model pendekatan karena diharapkan dengan model yang beragam lebih mampu mengatasi beberapa persoalan yang dihadapi anak, terlebih-lebih dalam mengatasi aspek sosial maupun emosional.

Model lain dikemukakan oleh Wahab (2003) bahwa model pembimbingan yang dipandang memiliki efektifitas tinggi untuk mengembangkan kecakapan sosial-pribadi peserta didik adalah development model. Dengan model ini dapat membantu pengembangan potensi kecakapan sosial-pribadi yang dimiliki peserta didik, sehingga mereka dapat mengendalikan perilaku sosial-emosionalnya secara produktif. Dengan kata lain model layanan bimbingan yang dapat diberikan kepada peserta didik dalam mengikuti program SKM/SSN adalah model perkembangan, multi model, development model yang disesuaikan dengan karakter individual peserta didik agar perkembangan sosio-emosional mereka dapat berkembang dengan baik terutama dalam menyelesaikan pendidikan.

Bimbingan tersebut dapat diupayakan dengan melakukan langkah seperti 1) Pertemuan rutin dengan orang tua siswa untuk saling bertukar informasi, 2) Menghimpun berbagai data dari guru yang mengajar, khususnya berkaitan dengan aktivitas siswa pada saat pembelajaran, 3) Menjaring data dari siswa melalui daftar cek masalah, sosiometri kelas, angket maupun wawancara (Munandar, 2000).

H. PENUTUP

Penyelenggaraan pendidikan dengan mengacu pada standar nasional dan kajian empirik, ilmiah akan memberikan model konsep yang relevan dan ideal, dengan orientasi utama pengelolaan manajemen sekolah yang otonom dan efektif.

Sekolah Kategori Mandiri/Sekolah Standar Nasional merupakan bentuk minimal dari manajemen penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang harus terus dikembangkan secara konseptual, strategi dan pengembangan implementasi pada satuan pendidikan. Oleh sebab itu sangat diperlukan keterlibatan berbagai pihak yang kompeten untuk mewujudkan hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Barry, M.D.J., dkk.1996. Kamus Peristilahan Modern dan Populer 10.000 Istilah. Surabaya : Indah.

Atmadi, A. dan Y. Setyaningsih. 2000. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenim Ketiga. Yogyakarta : Kanisius .

Atmodiwirio, Soebagio.2000. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Ardadizya Jaya.

Australian International School Singapore. 2006. Course Planning Guide 2007 – 2008. Singapura

Chandramohan,P.2006.www.hindu.com/2006/03/31stories/ 2006033104510300.htm

Depdikbud.1991. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Lanjutan Atas. Dirjen Dikdasmen. Jakarta : Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Menengah.

________________. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.edisi 3. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.

Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosdakarya.

________________. 2003. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosdakarya.

Feldhusen, J.F. 1991. Saturday and Summer program. Dalam: N. Colangelo dan G. A. Davis (ed.) Handbook of Gifted Education .Boston : Allyn & Bacon.

Florida State University Schools. 2005. Student Progression Plan. Tallamassee.

Freeman, J. 2001. Gifted Children Grown Up. London : David Fulton publishers.

Gardner, H. 1993. Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Cambrige: BasicBooks.

Handoko, T. Hani. 2001. Manajemen. ed.2. Yogyakarta : BPFE.

Hasibuan, JJ. dan Moedjiono. 1990. Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Kadarman, S.J dan Udaya, S. 1996. Pengantar Ilmu Manajemen. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Kindsvatter. R., Wilen, W., & Ishler, M. (1996). Dynamics of effective teaching. London: Longman Publisher.

Koontz, H.,O’Donnel C., Weihrich H. 1984. Management. Eight Edition (jilid 2), edtitor penerjemah Gunawan Hutahuruk, MBA. Jakarta : Erlangga.

Latifah,Ulya. 2004. Bentuk Layanan Keberbakatan di SMA Lab School Jakarta. Makalah Seminar Keberbakatan Nasional Nasional dengan tema Keberlanjutan Layanan Keberbakatan Mencegah Kemubaziran Perwujudan Potensi Unggul Generasi Muda Menyongsong Tantangan Masa Depan. Tanggal 6 Maret 2004 Jakarta : Depdiknas.

Marsh, C. 1996. Handbook for Beginning Teachers. Melbourne: Longman

Moedjiarto. 2001. Sekolah Unggulan. Surabaya : Duta Graha Pustaka.

Munandar, Utami.S.C. 1999. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Yogyakarta : Andi Ofset.

_______________. 1999. Kreativitas dan Keberbakatan, Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif dan Bakat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

_______________. 2000. Beberapa Pendekatan (model) Akselarasi dan Implikasinya. Seminar lokakarya program akselarasi (percepatan) dalam pendidikan di tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta, 21-22 Juni 2000.

_______________. 2000. Rasional Penyelenggaraan Program Akselarasi bagi Siswa Berbakat Akademik di indonesia. Seminar Program Pendidikan Akselarasi. Jakarta, 24 November 2000.

_______________ 2001. Mengembangkan Kreativitas dalam Pembelajaran. Materi Pelatihan Kepala Sekolah Calon Penyelenggara Program Percepatan Belajar. Jakarta , 28 Agustus 2001.

Murdick, Robert G dan Ross Joel E., 1983. Information System for Modern Maanagement. Jakarta : Depdikbud.

Nawawi, Hadari. 1990. Administrasi Pendidikan. Jakarta : PT. Gunung Agung.

Nugroho. 2004. Self Regulated Learning Anak Berbakat. Makalah Seminar Keberbakatan Nasional dengan tema Keberlanjutan Layanan Keberbakatan Mencegah Kemubaziran Perwujudan Potensi Unggul Generasi Muda Menyongsong Tantangan Masa Depan. Tanggal 6 Maret 2004. Jakarta : Depdiknas.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi

Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendiknas Nomor 22 dan Nomor 23.

PH, Slamet. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Disampaikan dalam Seminar Regional dengan Tema ‘Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTAN’ Tanggal 8 Mei 2000 di Universitas Panca Marga Probolinggo, Jawa Timur.

_____________. 2001. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah.. Makalah pada Acara Seminar dan Temu Alumni Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta dengan Tema ‘Pendidikan yang Berwawasan Pembebasan: Tantangan Masa Depan’ Tanggal 27 Mei 2000 di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta.

____________. 2000. Menuju Pengelolaan Pendidikan Berbasis Sekolah. Makalah Seminar Regional dengan Tema ‘Otonomi Pendidikan dan Implementasinya dalam EBTANAS’ bulan Mei 2000 di Universitas Panca Marga Probolinggo, Jawa Timur.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara.

___________. 1990. Perencanaan Pendidikan Partisipasi dengan Pendekatan Sistem. Jakarta : Rineka Cipta.

Pirto, Jane. 1994. Talented Children and Aults : Their Development and Education. Toronto : maswell Macmillan.

Poerwdarminta, W.J.S. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakrta : Grasindo.

Siagian, S.P. 1992. Fungsi-fungsi Managerial. Jakarta : Bumi Aksara.

Siskandar. 2003. Penyelenggaraan Sistem SKS di SMU”. Makalah Seminar Nasional Penerapan Sistem SKS pada SMU di Provinsi NTB tanggal 23 Pebruari 2003.

Slameto. 1991. Proses Belajar Mengajar dalam Sistem Kredit Semester. Jakarta : Bumi Aksara.

Stott, Lousie., Fink, Dean.. & Earl. Lorna. (2003). It’s about learning. London: RoutledgeFarlmer.

Suryadi, Ace dan Tilaar. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung : PT Rosda Karya.

Suryadi, Ace. 2003. Sistem SKS dan Demokratisasi Pendidikan. Makalah Seminar Nasional Penerapan Sistem SKS pada SMU di Provinsi NTB tanggal 23 Pebruari 2003.

Terry, G.R dan Leslie W. Rue. 2000. Dasar-Dasar Manajemen. Penerjemah : G.A. Ticoalu. Jakarta : Bumi Aksara.

Terry, G.R. 1987. Asas-asas Manajemen. Alih Bahasa : Winardi, Bandung : Penerbit Alumni Bandung.

Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta : Depdiknas.

Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wahab,Rachmat. 2004. Bimbingan dan Konseling bagi Anak Berbakat : aspek Sosio-Emotional. Makalah Seminar Keberbakatan Nasional Nasional dengan tema Keberlanjutan Layanan Keberbakatan Mencegah Kemubaziran Perwujudan Potensi Unggul Generasi Muda Menyongsong Tantangan Masa Depan. Tanggal 6 Maret 2004 .Jakarta :Depdiknas.

Wildan. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Didaktika. Jurnal Pendidikan Dasar dan TK. I (1)-2002.

Winardi. 1990. Asas-asas Manajemen. Bandung : Penerbit Mandar Maju.

Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta : Bayu Indra Grafika.

Copyright From:

http://www.dikmenum.go.id/dataapp/kurikulum/8.%20PERANGKAT%20RINTISAN%20SKM-SSN/2.%20Model%20Penyelenggaraan%20SKM-SSN%20(Isi).doc